Selasa, 18 Juni 2019

Dunia dalam Berita di Museum Macan


Sebagai homeschooler, kami paling senang mengunjungi museum. Mengapa? Karena saat mengunjungi museum, anak-anak dapat memelajari hal-hal baru dengan lebih menarik. Dari museum sejarah seperti Sumpah PemudaMuseum satwaMuseum AngkutMuseum Tubuh, atau bahkan Museum Science baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kali ini kami berkesempatan mengunjungi Museum Macan.

Diawali dengan keisengan si mama untuk mengikuti kuis di Detik dan memenangkan hadiah dua tiket ke Museum Macan. Saya pun bertanya tentang prosedurnya kepada pihak Museum Macan dan ditanggapi dengan luar biasa baik oleh pihak Museum Macan. Mereka menginfokan bahwa setiap Minggu ada tour anak yang akan dimulai pukul 14.00. Kami pun janjian untuk mengunjungi Museum Macan di hari Minggu.
Another free tickets for the girls. Thank you Museum Macan :) 
Museum Macan (Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara) yang berlokasi di daerah Jakarta Barat bukanlah berisi tentang hewan-hewan seperti macan alias harimau, tetapi berisi karya seni. Museum ini sudah cukup terkenal, terutama saat Yayoi Kusama mengadakan pameran di sini. Kali ini tema yang ada adalah Dunia dalam Berita.
Masriadi Sang Pemenang karya I Nyoman Masriadi.
Mendengar kata-kata diatas, pastilah kita yang lahir sebelum tahun 90-an familiar dengan kata-kata tersebut. Terbayang di benak kita bahwa waktu telah menunjukkan pukul 21.00 dan waktunya mendengarkan berita di televisi. apapun stasiun TV yang ditonton, pasti semua secara serentak menampilkan Dunia dalam Berita pada pukul 21.00. 

Namun seiring dengan era reformasi, Dunia dalam berita pun bukan satu-satunya berita yang dapat dilihat. Setiap stasiun TV boleh membuat berita. Kebebasan dan perubahan mulai terlihat. Nah, di pameran ini akan ditampilkan karya-karya dari dua generasi yang berbeda, yaitu mereka yang memiliki bahasa artistik yang seiring dengan pengalaman mereka pada  masa perubahan sosial dan politik seputar reformasi dan mereka yang lahir setelahnya dengan pendekatan yang lebih bersifat grafis.

Saat kami datang, kami disambut oleh kak Galuh sebagai tour leaderuntuk anak-anak. Kami diajak untuk masuk ke instalasi pertama, yaitu Elevation di instalasi Matter and Place. Di Elevationini anak-anak mengeksplorasi keragaman rumah adat Indonesia berdasarkan tingkat ketinggian rumah-rumah itu dari atas tanah.
Joglo dengan ketinggian 80 cm diatas tanah.
Rumah adat Toraja dengan ketinggian 2 M diatas tanah.
Rumah adat dengan posisi tertinggi yang ada di Papua dengan ketinggian 2.6 M diatas tanah.
Setelah selesai melihat-lihat rumah adat Indonesiayang beraneka ragam, anak-anak diajak untuk bereksplorasi dengan menggambar di dinding dengan menggunakan tangan. Spot ini tentunya menarik bagi anak-anak karena anak-anak bebas menggambar dan menulis yang mereka sukai.

Selanjutnya mereka diajak untuk melihat karya A Blank Spot in My TVoleh FX Harsono. Di setiap gambar terdapat blank spot dibagian mulut mereka. Kak Galuh menjelaskan bahwa sebelum era reformasi tahun 1998 media massa sangat dikendalikan oleh negara. Itu sebabnya kata-kata yang dikeluarkan akan disensor dan diperiksa. Namun setelah masa reformasi, orang bebas mengemukakan pendapat dan berbicara. Walaupun demikian, setiap kata-kata yang dikeluarkan haruslah dapat dipertanggungjawabkan dengan benar. 
A Blank Spot on My TV
Karya selanjutnya yang dilihat anak-anak adalah I Eat You Eat Me karya Mella Jaarsma. Di karya ini anak-anak diajak melihat video tentang orang yang menyuapi pasangan di depannya. Karya ini terinspirasi oleh tradisi pernikahan orang Jawa yang melambangkan kerukunan dan saling berbagi. Memang karya-karya Mella Jaarsma berfokus pada berbagai bentuk keragaman ras dan budaya yang tercermin lewat pakaian, makanan, dan tubuh.
I Eat You Eat Me.
Refugee Only, lengkap dengan perlengkapan darurat.
Shameless Gold dari kepompong liar dan kasar.
Seakan menyindir bahwa semua orang dapat memakai emas.
Zipper Zone, ada foto di dalamnya loh.
Setelah selesai melihat karya Mella Jaarsma, anak-anak langsung diajak untuk melihat karya Krisna Murti yang berjudul Makanan Tidak Mengenal Ras. Di instalasi ini terdapat 12 kloset duduk merah muda. Didalam setiap kloset terdapat gambar makanan yang ada di Indonesia. Dan makanan-makanan ini ternyata merupakan makanan khas negara-negara lain seperti China, India, Arab. Dengan kata lain, makanan tidaklah mengenal ras.
Makanan Tidak Mengenal Ras.
Martabak Asin yang ternyata dari India.
Wedang ronde yang berasal dari China. 
Di samping instalasi terdapat spot Education Station yang menyediakan kertas dan alat-alat tulis. Ternyata spot ini merupakan spot untuk membuat zine atau magazine atau majalah. Tentu saja anak-anak dengan senang hati duduk dan mengambil peralatan untuk membuat majalah.
Ramai-ramai membuat Zine. 
Walaupun Museum Macan merupakan tempat yang children friendly, namun tetap saja ada karya yang hanya untuk 18+. Seperti karya Agus Suwage yang berjudul Pressure and Pleasure. Karya ini dibuat pada tahun 1999, satu tahun setelah reformasi. Instalasi ini cukup unik karena menggunakan tenda militer. Memang pada tahun 1998 tenda militer sering terlihat di tempat-tempat umum. Namun uniknya tenda ini dibuat dari poster-poster bioskop zaman kami masih kecil, yang gambarnya agak sensual. Apa artinya ya?
Pressure and Pleasure karya Agus Suwage.
Viva la Muerte (Panjang Umur Kematian) karya S Teddy D.
Predator dari baja dan barel minyak yang biasa digunakan di militer.
Setelah anak-anak dipaksa selesai membuat majalah, mereka pun diajak untuk melihat Operation Control Mind karya Heri Dono. Instalasi yang dibuat di tahun 1999 ini menggambarkan bagaimana orde baru mengendalikan setiap media massa. Di bagian bawah tersedia injakan yang dapat diinjak oleh anak-anak. Dan saat diinjak, maka si pengendali akan mengendalikan setiap orang di dalam gelas dan menghasilkan siluet seperti wayang.
Operation Control Mind.
Karya Heri Dono ini merupakan karya terakhir yang dilihat anak-anak di ruang pameran. Anak-anak diajak untuk beranjak ke Children’s Art Space. Di sini terdapat instalasi Main Getah atau Rubberscape karya seniman Malaysia Shooshie Sulaiman. Di sini anak-anak seakan memasuki hutan karet, lengkap dengan bunyi hewan dan bau daun karet. Mereka diajak mengeksplorasi kegunaan karet dalam kehidupan sehari-hari.
Rubberscape
Biji karet yang dapat digunakan jadi biji congklak.
Stempel yang dibuat dari karet.
Karet warna-warni.
Instalasi berikutnya yang kami kunjungi adalah Infinity Room. Infinity Room merupakan karya seniman Jepang Yayoi Kusama. Di tempat ini kami dibatasi untuk masuk berdua-berdua karena ruangannya yang kecil. Dan waktu yang diberikan untuk berfoto adalah 30 detik.
Cantik kan lampunya. 
Di lantai atas terdapat pameran Hari-Hari di Cicadas karya Jeihan. Jeihan merupakan pelukis asal Bandung. Cicadas merupakan tempat tinggal dari Jeihan. Ciri khas dari lukisan Jeihan adalah bagian mata yang dihitamkan. Ini menggambarkan keprihatinan Jeihan akan masa depan bangsa.
Mata gelap khas Jeihan. 
Selain lukisan, Jeihan juga membuat puisi. Seperti Remi Silado, Jeihan dengan rekan pujangganya terkenal dengan puisinya yang mbeling atau nakal.
Puisi Mbeling karya Jeihan.
Selesai sudah kunjungan kami di Museum Macan. Anak-anak pun senang, apalagi dipandu oleh kak Galuh yang begitu ramah terhadap anak-anak. Pameran Dunia dalam Berita ini akan terus ada hingga 21 Juli mendatang. Kami menyarankan untuk datang di hari Minggu bagi orang tua yang membawa anak-anak.
Quote yang bagus.
Sekilas Info
Museum Macan
Alamat: AKRTower Level M, Jalan Panjang No.5 Kebon Jeruk, JakartaBarat
Jam Operasional: 10.00 – 18.00 (libur hari Senin).
HTM: Rp 100.000,00 (dewasa) dan Rp 80.000,00 (anak-anak)